Menyerah?
Tamat?
Bubar?
Oh, maaf, tidak. No friggin’ way. Ed Eddy–disokong partner in crime-nya, Igo–tegap maju jalan dengan semangat menyala, terus teguh bersikap optimistik.
Konser demi konser dilakoni hampir tanpa jeda. Aktivitas menulis lagu tiada kenal henti. Dan begitu masa hukuman 6 bulan kurungan + percobaan 1 tahun berakhir pada 7 Maret 2008, berselang sebentar, impian gigantik dan obsesi besar yang lama terlunta-lunta yaitu merilis album perdana, akhirnya sanggup diwujudkan. Kumpulan tembang kritis lagi jenaka yang nyaris saja jadi koleksi kusam nan lapuk akhirnya bisa dirilis juga. Whew.
Barisan fans yang telah solid terbangun sejak dulu pun menyambutnya dengan ultra riang ria. Terbukti saat malam peluncuran album debut bertajuk Lagu Kita Orang Indonesia ratusan penonton menyesaki lapangan pertunjukan. Riuh koor non stop terdengar mulai dari awal hingga akhir. Kontingen seniman lokal dan aktivis pergerakan yang setia menyokong sejak mula, masih tampak lugas bahu membahu memberikan dukungan. Wajar saja, sebab Ed Eddy & Igo di wilayah berkesenian Bali adalah merupakan muka lama. Been there done that type of guys. Pantas untuk diberi hormat.
…Katanya kita
Bebas berkarya
Tapi mengapa masih harus lagu cinta…
_______________________
ARTIST DETAILS
Nama: ED EDDY & RESIDIVIS
Tanggal/Tahun Berdiri: Awal 2005
Genre: Rock Residivis
Personel:
1. Ed Eddy Rsdvs (vokal utama)
2. Igo Rsdvs (gitar latar)
3. Chalie Rsdvs (gitar utama)
4. Goegoek Rsdvs (bass)
5. Dean Rsdvs (drum)
CONTACT
Manager/Contact Person: Igo Rsdvs
Ponsel: +628123866364
E-mail: residivis.rock@gmail.com
Website/Myspace/Friendster: http://www.musikator.com/residivis
Address: Jl. Tukad Yeh Aya no. 70, Panjer, Denpasar, Bali
DISKOGRAFI
1. Lagu Kita Orang Indonesia
Label: The Blado Beatsmith
Rilis: 2008
BERITA
…Anjing …kukira preman
Anjing… ternyata polisi…
Inilah salah satu lirik yang “melambungkan” nama Ed Eddy & Residivis, tidak hanya di jagat permusikan yang memang sudah lama digeluti mereka, bahkan menembus batas ke area jagat “pemberontakan” kelompok sipil prodemokrasi. Lirik lagu yang berjudul Anjing ini pula yang menghantarkan mereka (Ed Eddy dan Igo) ke pintu gerbang Peradilan (ehm, mirip proklamasi aja).
Di sinilah sejarah mulai tertoreh, personil band yang diadili atas karya seni terjadi di Bali. Ironisnya peradilan dilakukan setelah mereka mengeluarkan keringat di atas panggung Konser Amal “Dari Bali Untuk Jogja”. Sebuah konser musik yang digelar untuk membantu para korban gempa Jogja dan sekitarnya. Peradilan ini bukan hanya mencatat sejarah terjadinya peradilan atas sebuah karya lagu, namun juga menebalkan keyakinan bahwa persoalan pembungkaman atas kebebasan berekspresi telah masuk ke dalam semua dimensi. Tak ayal bergabunglah kelompok prodemokrasi baik mahasiswa, NGO, ormas untuk memberikan dukungan kepada Ed Eddy dan Igo yang disidang di Pengadilan negeri. Dukungan bahkan datang dari musisi balada Franky Sahilatua dan Prof. Drs Jiwa Atmadja, SU (Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali) yang hadir sebagai ahli di persidangan tersebut.
Tak tanggung-tanggung, proses persidangan berlangsung hampir setahun. Waktu yang lebih dari cukup untuk membuat seluruh audiens hafal dengan lirik lagu Anjing. Sehingga lagu itu kerap dinyanyikan dalam aksi-aksi solidaritas untuk para “residivis”. Mungkin hanya jaksa dan hakim—yang mengadili perkara tersebut—yang tidak hafal lagu itu. Ya wajar, karena mereka sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Ed Eddy dan Igo untuk menyanyikan lagu itu di persidangan sebagai salah satu pembuktian materiil, bahwa lagu itu tidak menghina siapapun termasuk badan penguasa umum yang bernama Kepolisian.
Walaupun akhirnya vonis 6 bulan penjara dengan 1 tahun masa percobaan menjadi ending dari kisah tragis ini, toh tetap memberikan beberapa catatan yang patut diapresiasi.
- Pertama, Ed Eddy dan Igo yang biasanya manggung di tempat umum, tetapi dengan berjalannya peradilan itu, halaman Pengadilan Negeri Denpasar selalu menjadi panggung buat mereka sebelum memasuki ruangan sidang. Situasi ini memberikan nilai yang bermakna tinggi, dimana “kesakralan” gedung ini tidak lagi menghantui para musisi.
- Kedua, kasus ini mempertebal bangunan solidaritas dari para musisi khususnya di Bali dalam menghadapi kriminalisasi seniman.
- Ketiga, ada ikon pejuang kebebasan berekspresi dari musisi. Ketiga catatan ini menurut penulis jauh melampaui kearogansian kekuasaan untuk mempidana musisi atas karya-karya mereka.
- Keempat; atas kasus ini bahkan melahirkan agenda music bertajuk “Speak Up”, yang sempat menjadi agenda tetap gerakan prodemokrasi di Bali bersama-sama para musisi.
Sebuah Kenangan Terhadap Para “Residivis”
Mengingat tentang Ed-Eddy & Residivis kerap membuat saya tersenyum simpul. Betapa tidak, pertama kali saya mengenal nama grup ini dari Rudolf Dethu pada waktu mengajukan nama grup ini untuk main di konser amal dari bali untuk Jogja. “Mmm… nama yang cukup aneh bin garang”, pikir saya. Walaupun akhirnya setelah bertemu langsung, ternyata “tampang-tampang garang” ini sudah sering saya temui sebelumnya. Maklum nama band ini baru terdengar di telinga saya, akhirnya membuat saya kecele, karena ternyata isinya adalah orang-orang yang sudah malang-melintang dalam dunia permusikan.
Bertampang garang, berhati “mellow” itulah mereka di mata saya. Terlebih seorang Ed Eddy, tubuh tegap besar berkepala botak atau Om Joe (ex. bassist) tampil penuh tattoo dengan rambut gondrong. Sangar… betul-betul sangar! Inilah faktor yang membuat saya kecele untuk kedua kalinya, ternyata walaupun bertampang garang tapi lagu-lagu mereka sangat kocak dan semakin kocak—namun selalu sarat kritik sosial—dengan tingkah Ed-Eddy. “Ah tertipu lagi nih”, protes otak saya.
Saya benar-benar dibuat jatuh hati dengan suguhan itu. Yang membuat saya makin merasa “sehati”, tatkala mereka mendendangkan lagu Kronologi Pistol dan Amunisi. Lagu yang sarat pesan anti kekerasan, begitu menyeruak dalam. Tidak pernah terbayang pesan itu begitu mengena dengan dunia pergerakan hak asasi manusia.
…Pistol dan amunisi tak hanya punya pak polisi lagi,
Pistol dan amunisi mestinya bela Hak Asasi…
Lirik ini saya isi garis tebal, karena sungguh menggelitik kepala saya. Lagu yang secara tepat menggambarkan bagaimana kekerasan, premanisme, teror baik oleh aktor negara maupun negara begitu masif terjadi di negeri ini. Tentu saja praktek penjualan senjata adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rantai kekerasan yang terjadi. Tak pelak lagu ini kerap saya nyanyikan di beberapa pertemuan—tentu saja dengan gaya amatiran—dan tak disangka banyak yang tertarik setelah mendengarkan lagu ini. Mungkin saja lagu ini dirasa mewakili keluh kesah para aktivis hak asasi manusia selama ini. Bagi saya tembang ini secara tidak langsung adalah kampanye bagi gerakan HAM khususnya gerakan anti kekerasan.
Saat ini lagu mereka bukan hanya sebatas lagu yang berdendang di media elektronik, tapi mulai menyatu dan membumi karena aktivitas bermusik yang bertaut dengan kampanye-kampanye lapangan kelompok prodemokrasi. Mungkin pengalaman dikriminalisasi membuat band ini semakin terlecut untuk mengabdikan diri bagi pemajuan kebebasan berekspresi di negeri yang “parno” dengan kritik. Begitu semangatnya mereka, sehingga sepanjang ingatan saya tidak satupun penolakan dari mereka tatkala diajak untuk mengisi acara-acara kampanye gerakan HAM dan demokrasi. Sungguh kenangan yang indah dan sulit terlupakan.
Di luar apa yang terpapar diatas, ada beberapa hal yang juga membenamkan kenangan lucu bercampur sedih bila mengingat sosok seorang Ed-Eddy. Terutama menyangkut bagaimana seorang Ed-Eddy yang galak, ternyata adalah seorang manusia biasa yang punya rasa takut. Ini terjadi tatkala Ed-Eddy diperiksa tengah malam sampai subuh di Polsek Denpasar Selatan (Densel) pasca manggung di Konser Amal “dari Bali Untuk Jogja”. Terlihat seorang Ed-Eddy yang “khawatir” saat menjalani pemeriksaan atas tuduhan menghina polisi karena menyanyikan lagu berjudul Anjing di konser itu. Berulangkali kepala botaknya menjadi usapan tangannya. Tak terhitung berapa kali botaknya digosok-gosok tangannya sendiri, saat di BAP di kantor Polsek Densel. Ha ha ha… mengkilap bro!
Saya bersama Dethu, Oktaf, Bayu, yang mendampingi selama pemeriksaan harus berkali-kali membesarkan hati mereka. Sampai kata-kata “jimat” para aktivis keluar dari mulut saya—mengutip sajak dari Widji Tukul—, “Hanya satu kata: Lawan!”. Demikian juga pada saat persiapan menghadapi persidangan, terlihat “kekhawatiran” di dalam diri Ed Eddy dan juga Igo. Terlebih menghadapi sidang perdana di PN Denpasar, kegelisahan menjadi-jadi. “Wah, ternyata bisa takut juga”, ujar saya ke Dethu yang langsung dibarengi dengan celotehan-celotehan lucu dari teman-teman yang lain.
Namun “kekhawatiran” itu cukup sampai di sana saja. Begitu fase sidang perdana dilewati, “kekhawatiran” itu berubah menjadi semangat perlawanan. Di sinilah titik haru saya melihat kemajuan mereka. Mengutip kata-kata alm. Munir:“Yang paling sulit adalah mengatasi rasa takut itu sendiri”. Ed Eddy dan Igo telah mampu melalui itu, mampu mengatasi rasa takut diri sendiri. Terlihat bagaimana Ed Eddy dan Igo bersama Residivis lainnya mampu bangkit dengan tetap berceloteh “nakal” di dalam aksi-aksi panggung mereka—tentu saja tanpa lagu “Anjing piaraannya”. Ataupun kebangkitan itu langsung menghasilkan lagu berjudul Lagu Kita Orang Indonesia, yang penuh dengan kritik atas kondisi negeri ini. Dan juga lagu berjudul Browny, sebuah lagu yang menyindir perilaku “anjing” peliharaan yang suka gigit kalau tidak diberi asupan.
Refleksi atas peristiwa peradilan terhadap dirinya, pun membawa kemajuan yang signifikan. Terlihat mereka cukup cerdas dalam menciptakan karya dengan melakukan “konsultasi” atas lirik-lirik lagu mereka untuk menghidari arogansi kekuasaan “menghujam” mereka lagi tanpa harus kehilangan kekritisan dalam karya-karyanya. Kemajuan inilah yang membuat saya tidak sedih lagi—mengikuti judul mereka “Aku Tak Sedih”—atas peristiwa kriminalisasi itu.
Namun demikian tetap saja ketika mendengar Ed-Eddy menggelar konser perpisahan, ada perasaan sedih membuncah dalam hati saya. Saya dan sekian banyak kawan-kawan akan “kehilangan” salah satu band yang berjiwa “residivis”. Jiwa yang tidak pernah kapok untuk berceloteh “nakal” dengan karya-karyanya.
Ed Eddy & “benar-benar” Residivis. Semoga sukses dan tidak kehilangan jiwa “residivis”nya. Ini sebuah pesan dan harapan dari seorang kawan sesama residivis yang tersampaikan lewat tulisan di baju beserta opini ini.
No comments:
Post a Comment